L A B E L

Labeling, Labelling, Labeler, Iklan, BO - Bimbingan Orang Tua -, D - Dewasa -, SU - Semua Umur -, Film, Movie, Kartun, dan Pendidikan. Blog ini untuk membantu kita melihat sisi lain dari persepsi yang diinginkan dari marketer dunia. Jangan mau jadi korban iklan dan acara tv.

Bisnis dan Liga Inggris


Di Britania Raya, sepakbola sudah seperti agama saja. Orang lebih rajin ke stadion daripada ke tempat ibadah. Mulai dari penjaga toko, buruh bangunan, sampai pejabat sama-sama menggemari bola. Pagi tadi, misalnya, orang-orang menggosipkan Cristiano Ronaldo yang hendak membeli jet pribadi untuk liburan mewahnya dengan biaya sekitar £600 ribu. Ini bukan barang baru karena sebelumnya Robbie Fowler dan Michael Owen juga pernah membeli pesawat dan helikopter pribadi.

Selain karena pemain-pemain kelas atas punya uang berlebih, kabarnya mereka juga didorong oleh pasangan mereka yang mulai malas naik pesawat kelas bisnis “biasa.” Mereka merengek minta jet pribadi yang biayanya sekitar £20 ribu untuk sekali jalan. Orang-orang berdebat apakah para pemain memang layak mendapatkan kemewahan tersebut atau sebenarnya semua itu tak lebih dari pemborosan semata.

Hari Rabu lalu (8/10) diselenggarakan sebuah konferensi bertajuk “Football in the Social Sciences” di Nuffield College, Oxford University. Salah satu pembicaranya adalah Stefan Szymanski, profesor bidang ekonomi dari Cass Business School, City University of London.

Dalam presentasinya, Szymanski mengajukan ide yang cukup kontroversial. Berdasar riset yang ia lakukan, Liga Premiership menurutnya dianggap terlalu kompetitif sehingga hanya 4 dari 20 tim yang secara realistis bisa memenangkan titel juara. Sebelumnya, Szymanski juga pernah mempublikasikan teori serupa di liga olahraga terkemuka lainnya dan mendapatkan kesimpulan yang nyaris sama: excessive competition.

Szymanski berargumen bahwa untuk bisa bersaing masing-masing tim harus menggelontorkan investasi yang tak sedikit demi mendapatkan talenta-talenta berbakat dan bermental juara. Szymanski menunjukkan bahwa equilibrium Nash tidak efisien di sini mengingat tiap tim berbelanja terlalu banyak ketika bursa transfer dibuka.

Tak cuma tim-tim papan atas, tim di papan bawah juga seringkali berinvestasi sangat besar relatif terhadap tim-tim di atasnya. Akibatnya, tak cuma posisinya akan terdongkrak, tetapi juga membuat tim-tim lain kian sulit untuk berkompetisi. Szymanski menyebutnya sebagai business stealing effect dimana terdapat unsur eksternalitas yang dimiliki setiap tim untuk “mengganggu” rival mereka.

Selanjutnya, klub akan berusaha menarik pendapatan dari penjualan tiket semaksimum mungkin untuk mengkompensasikan marginal cost yang sudah dikeluarkan untuk membeli pemain. Mereka bahkan berani belanja pemain lebih banyak dari budget seharusnya dengan asumsi kalau klub lain juga berbelanja pemain bagus, toh penjualan tiket ketika bertanding dengan klub-klub tersebut nantinya juga ikut terdongkrak. They will profit at the “expense” of other teams.

Oleh karena itu, dari waktu ke waktu Liga Premier menjadi makin komersil sekaligus makin kompetitif. Juara liga seringkali susah ditebak dan baru bisa ditentukan pada pertandingan di minggu terakhir. Walaupun bukan klub favorit saya, Manchester United adalah salah satu contoh terbaik tentang bagaimana seharusnya klub mengkomersialkan dirinya sebagai sebuah entitas bisnis yang profitable.

Szymanski sendiri masih berhasrat untuk melakukan pengujian statistik antara kesuksesan sebuah tim dengan jumlah penonton yang memadati stadion. Sebelumnya ia pernah menguji hal serupa pada liga divisi dua di Inggris dan menjumpai bahwa tidak selalu jumlah suporter yang banyak akan berujung pada kinerja (kemenangan) tim. Katanya, “English football is too competitive.

Bagaimana menurut Anda?

http://nofieiman.com/2008/10/bisnis-dan-liga-inggris/#more-455

0 komentar: